Tari Sintren yang di prtunjukan antar desa desa

memakai kacamata hitam. Setelah beberapa waktu kurang lebih antara 20 menit sampai 60 menit penari keluar dari kurungan sudah dalam tampilan yang berbeda saat masuknya. Kaca mata hitam yang dimaksudkan untuk menutupi posisi biji mata sewaktu trance/kesurupan Balangan atau Temohan Balangan yaitu pada saat penari Sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari Sintren. Setiap penari terkena lemparan maka Sintren akan jatuh pingsan (bila mengenai kepala). Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari Sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari Sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari lagi.

Sedangkan temohan adalah penari Sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya. Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pertunjukan seni Sintren umumnya bersifat memanggil bidadari, kekuatan ruh yang dipercayai dapat mendatangkan kekuatan tertentu, seperti tercermin dalam lagu yang penulis masih ingat yaitu Turun Sintren, yang kurang lebih syairnya sebagai berikut: Turun-turun Sintren, turune widodari nemu kembang neng ayunan, kembange wijaya endah podho temuruno neng sukmo, ono Sintren jejogetan bul-bul kemenyan, widodari kang sukmo, podho temuruno podho sinuyudhan, podho lenggak-lenggok surake keprok ramerame sing nonton podho mbalang lendang karo Sintrenne, njaluk bayar saweran sa lilane. Arti dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut: Turun-turunnya Sintren, turunnya bidadari Menemukan bunga di depan rumah, bunganya bunga Wijaya indah Semua turun ke jiwa, ada Sintren menari-nari Asap-asap kemenyan membumbung, bidadari yang merasuk ke jiwa, semua turunlah Semua bekerjasama, semua menari bersama, tepuk tangan bersama dengan ramai sekali Semua yang melihat melempar selendang kepada Sintren, Sintrennya meminta dibayar seikhlasnya Tarian Sintren sangat unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana 7 Wawancara dengan Ibu Hj. Tunut, anggota paguyuban Sintren Slamet Rahayu, sebagai cantrik sang Sintren.

yaitu ; buyung, lodong bambu, kecrek (terbuat dari sapulidi), dan hihid (kipas). Sekarang hihid diganti dengan karet bahan sandal., namun menggugah selera untuk terus menari. Tua muda melihatnya penuh antusias mengikuti, semua mata tertuju pada gerakan yang melambangkan kesederhanaan. 4. Tahap Pemulihan Sintren Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukan Sintren selesai. Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertaniannya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka dalam pertunjukannya akan dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar diturunkan hujan. Namun kini pertunjukan Sintren sangat jarang. Penulis teringat saat kecil pada periode waktu tahun an masih sering menjumpai di desa dan desa tetangga banyak dijumpai warga yang menanggap pertunjukan Sintren, kini sangat sulit menjumpainya. Pertunjukan Sintren kini dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain oleh pelaku seni Sintren. Bahkan berdasar pengetahuan penulis, saat ini hanya ada satu desa yang masih mempunyai grup kesenian Sintren yang tetap eksis yaitu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa dan Kabupaten Pemalang yaitu Paguyuban Sintren Lintang Kemukus dan Paguyuban Sintren Slamet Rahayu yang diketuai oleh Radin Anom dengan jumlah pengurus 15 orang, selain itu kesenian sintren dapat juga dijumpai di Desa Banjarmulya Kecamatan Pemalang. C. Modernisasi Sintren dalam tarikan antara tradisi dan modernitas melalui pendekatan fenomologi dengan menggunakan teori modernisasi dan fungsional. Hal tersebut berdasar asumsi bahwa setiap unsur budaya tidak akan pernah terbebas dari perubahan yang disebaban oleh arus modernisasi. Di mana salah satu teori yang muncul dalam menjawab perubahan sosial masyaraat menuju modern adalah teori modernisasi.

Yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional. Modernitas dalam bentuk teknologi hiburan, besar pengaruhnya terhadap kesenian tradisional. Kesenian tradisional membutuhkan proses yang lama dalam memahami dan menampilkan, berbeda dengan teknologi hiburan modern yang bersifat instant. Di sinilah akan terjadi cultural lag dalam kebudayaan berkaitan dengan keberadaan kesenian tradisional.

Menurut Koentjaraningrat, bahwa cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut. Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas dapat diterapkan sebagai kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk yang ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara terkena imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren. 

Para pekerja seni Sintren sebagai aset sumber daya manusia harus berjuang melawan modernitas, sebagai kaum minoritas yang menyampaikan nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya, mereka telah ikut andil dengan caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan, baik fisik maupun non fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren tersebut. Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari desa setempat saja. 

Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang menghendaki supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu. Dalam perspektif lain sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi alternatif bagi pelaku seni sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam pertunjukan kesenian tersebut, untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah himpitan modernitas dan globalisasi yang secara masif menghimpit rakyat kecil, pementasan sintren menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat secara ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan, seorang gadis penari sintren ternyata sedikit banyak mampu mendongkrak susana sepi menjadi keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di mana sebagian penduduk dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha dagang seperti; krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lainlain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan keliling sintren dari satu desa ke desa lain.

0 Komentar