Keberdayaan kesenian tari Sintren Opini masyarakat
Pemalang terhadap kesenian Sintren sedikitnya ada tiga kategori yang mewakili
berbagai aliran opini yang berkembang di masyarakat. Pertama, kelompok
masyarakat yang secara tegas (tanpa kompromi) menolak eksistensi kesenian
Sintren karena berasumsi bahwa kesenian Sintren tidak sejalan dengan nalar
keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua, kelompok yang mengakui eksistensi
kesenian Sintren dan berusaha melestarikannya. Kelompok ini terwakili oleh para
seniman dan pemerhati seni etnik. Ketiga, kelompok yang masa bodoh dan tidak
ambil pusing tentang Sintren dan masa depannya nanti. Faktor yang membuat
kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri yang
sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan
kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Selain itu juga tidak adanya wadah (sanggar) tempat
bertemu sesama anggota dan para pemerhati seni tradisional. Lemahnya manajemen
grup Sintren, ditengarai juga ikut memengaruhi citra kesenian Sintren. Dahulu,
kesenian Sintren hanya dikelola secara musiman dan baru bergerak jika ada
undangan pentas ataupun festival namun kini pertunjukan Sintren dilakukan
secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam pandangan masyarakat
pelaku seni tradisional. menghidupkan kesenian Sintren seakan tidak lebih dari
sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang,
atau hanya sekedar ingin mempertahankan nilainilai kearifan yang tersimpan di
dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet
Rahayu dusun Sirau Kelurahan Paduraksa. Jadi, mempertahankan nilai-nilai seni
budaya itulah agaknya yang dijadikan pertimbangan. Memutuskan menjadi penari
Sintren barangkali merupakan sebuah keberanian dan secara moral patut dihargai
sebagai bentuk ketulusan menjaga nilai-nilai kesucian. Dalam prosesi pementasan
Sintren ada semacam persyaratan khusus, si penari harus benar-benar masih
perawan (suci) lahir batin, dalam arti secara fisik masih gadis (perawan) dan
secara psikologis belum terhegemoni oleh pengaruh modernitas (masih lugu).
Karena itu umumnya penari sintren berasal dari kalangan gadis cilik usia
sekolah setingkat kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar.
Syarat lainnya hanya berkaitan dengan teknis,
tentunya harus bisa menari. Kini Sintren di Pemalang sebagai sebuah tradisi
disebabkan tekanan modernitas hampir menjadi sepenggal kenangan sejarah. Meski
masih ada pihak yang berusaha melestarikannya, terbukti di salah satu desa
masih terdapat group Sintren yang tampil secara keliling.
Ada beberapa makna yang terdapat di balik
pertunjukan Sintren, antara lain: pertama, makna mistis yang memiliki hubungan
dengan perolehan secara magis simpatetik. Ini tercermin lewat lagu-lagu yang
dilantunkan dengan monoton tapi sederhana dan mampu memberikan kekuatan
tertentu, sehingga pemain Sintren dari kondisi terikat kuat dapat lepas dan
berpakaian dalam hitungan menit. Kedua, makna teatrikal. Makna teatrikal ini
digambarkan dengan tampilnya pawang dengan pemain Sintren dan kurungan secara
simultan. Lalu Sintren berganti rupa dalam penampilannya sejak diikat dan
dimasukkan ke dalam kurungan dan keluar lagi serta masuk lagi dalam kurungan.
Pertunjukan semacam itu merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapa pun
yang melihatnya. Ketiga, makna simbolik. Makna simbolik ini ditunjukan bahwa
pertunjukan Sintren dahulu hampir slalu ditampilkan pada saat selesai panen.
Ini menunjukan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dimiliki oleh para
petani yang ingin berbagi kebahagiaan dan kebersamaan dengan warga sekitarnya,
oleh karena itu dalam pertunjukan Sintren juga dihidangkan berbagai macam
makanan. Dalam masa kinipun, seni sintren menunjukan pesan egalitarian dan
hubungan antara pencipta dengan yang dicipta. Pesan egalitarian, karena untuk
pertunjukkannya, segenap warga yang ditempati pertunjukan sintren melakukan
gotong royong mengumpulkan uang untuk menjamu dan sekedar memberi transport
anggota paguyuban sintren. Hubungan pencipta dan yang dicipta, karena dalam
pertunjukan sintren terdapat lagu-lagu yang berisi permohonan kepada Sang
Pencipta, kini bahkan dinyanyikan shalawat nabi.
Meski tekanan modernitas begitu kuat, tetapi sebagai
seni tradisional keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat
para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari
sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang,
atau adanya keinginan kuat mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang
tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satunya adalah
anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.
Pertunjukan Sintren juga bisa menjadi alternatif membangkitkan ekonomi mikro
rakyat kecil dalam mencari pengahasilan tambahan ekonomi rumah tangga atas
desakan kebutuhan ekonomi dan sebagai upaya mencoba bertahan hidup sambil
nguri-uri budaya sendiri.
Pada bagian Balangan adalah saat
penonton melempar sesuatu kearah penari Sintren. Saat penari terkena lemparan
itu maka penari Sintren akan pingsan. Lalu pawang mendatangi penari yang
pingsan tersebut dan membacakan mantra dan mengusap wajah penari agar roh
bidadari datang lagi dan melanjutkan menarinya. Penonton yang melemparnya tadi
di perbolehkan untuk menari dengan penari Sintren. Pada bagian Temohan adalah
bagian dimana para penari Sintren dengan nampan mendekati penonton untuk
meminta tanda terima kasih dengan uang seiklasnya.
Untuk menjadi penari Sintren ada
beberapa syarat yang harus di miliki calon penari, terutama sebagai penari
Sintren harus masih gadis atau masih perawan karena penari Sintren harus dalam
keadaan suci. Selain itu para penari Sintren di wajibkan berpuasa terlebih
dahulu, agar tubuh si penari tetap dalam keadaan suci dan menjaga tingkah
lakunya agar tidak berbuat dosa dan berzina. Sehingga dapat menyulitkan bagi
roh ataun dewa yang akan masuk dalam tubuhnya.
Dalam pertunjukannya, Busana yang di
gunakan oleh penari Sintren adalah baju golek, yaitu baju tanpa lengan yang biasa
digunakan dalam tari golek. Pada bagian bawah biasanya menggunakan kain jarit
dan celana cinde. Untuk bagian kepala biasanya menggunakan jamang, yaitu hiasan
untaian bunga melati di samping kanan dan koncer di bagian kiri telinga.
Aksesoris yang di gunakan biasanya adalah sabuk, sampur, dan kaos kaki
hitam/putih. Selain itu yang juga sebagai ciri khas dari penari Sintren adalah
kaca mata hitam yang berfungsi sebagi penutup mata. Karena penari Sintren
selalu memejamkan mata saat keadaan trance atau kesurupan, selain itu juga
sebagai mempercantik penampilan.Dalam pertunjukan Tari Sintren juga di iringi
oleh alat musik seperti Gending. Dan di iringi dengan lagu Jawa. Namun, pada
saat ini alat musik yang digunakan adalah alat musik modern seperti
orkes.
0 Komentar