Tari Sintren peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan

Sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya. Diakui atau tidak suatu masyarakat tidak akan pernah terbebas dari gejala perubahan yang berjalan sangat pesat, sehingga justru membingungkan manusia itu sendiri. Gejala perubahan yang terjadi memiliki intensitas kuat memunculkan kekhawatiran bagaimana ketangguhan daya tangkal nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah dan perlahan-lahan mengalami pemudaran. Namun demikian adanya dinamika masyarakat memberikan kesempatan kebudayaan untuk berkembang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai wadah pendukungnya. Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya, Sintren g di sepanjang wilayah pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang. Sintrenpun sebagai salah satu kesenian daerah Kabupaten Pemalang tidak bebas dari pengaruh modernitas. Keberadaannya kini semakin langka ditekan derasnya modernisasi. B. Kesenian Sintren Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua Sintren yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren. Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah di wilayah pantai utara, khususnya di Pemalang. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain di Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Herusatoto mengemukakan bahwa Sintren adalah seni pertunjukan rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan Legenda Sintren Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi, Pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu Sugiarto, A ; et al.. Naskah deskripsi Tari Sintren.(Semarang : Proyek Pembinaan Kesenian Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989), hlm Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak.
Dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyisembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance" dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih "trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut "Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai "balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai rumahtangga. Kedua, Sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya. 2. Bentuk Penyajian Sintren Sebelum pertunjukan, biasanya diawali dengan tabuhan gamelan sebagai tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian Sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton. Penonton biasanya datang bergelombang.
Menempatkan diri dengan mengelilingi arena, disambut dengan koor lagulagu dolanan anak-anak Jawa, seperti lir-ilir, Cublek-cublek suweng, Padang Rembulan dan sebagainya. 4 dupa - sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya. Bahkan sebelumnya perlu dilakukan acara ritual selama 40 hari terhadap penari Sintren untuk mencapai kesempurnaan penampilannya. 5 Berikutnya adalah tahapan menjadikan Sintren yang akan dilakukan oleh Pawang dengan membawa calon penari Sintren bersama dengan empat orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari Sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari Sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya mengikat calon penari Sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh. Tahap Kedua, calon penari Sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana Sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup kurungan kembali. Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, Sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya Sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti. Kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan. 6 Tetapi ada juga yang menuturkan bahwa asal usul Sintren adalah upacara pemanggilan ruh. Ini jika dilihat dari lagu-lgunya yang masih memiliki sifat magis religius dengan adanya adegan kesurupan (trance) yang dialami seorang pemain intren. Juga dilihat dari sifat permainannya yang masih dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman atau dukun. Keunikan dalam pertunjukan Sintren adalah penari yang berpakaian biasa dalam keadaan tubuh dan tangan terikat mampu menjelma di dalam kurungan ayam jago yang di dalamnya telah disediakan berbagai alat rias seperti cermin, bedak, gincu, seperangat pakaian tari dan kaca mata hitam menjadi gadis cantik dan mengenakan pakaian indah dengan hiasan wajah yang begitu sempurna dan Ibid awancara dengan bapak Basuki, ketua Rt. 08 Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa, penasehat Paguyuban Sintren Slamet Rahayu.

0 Komentar