Tari Sintren yang Semakin Terpinggirkan


Kesenian tradisional semakin memprihatinkan seiring kemajuan teknologi. Keberadaanya di tengah masyarakat makin dilupakan. Salah satunya adalah kesenian sintren.

Kesenian tradisional Sintren kian dilupakan seiring perkembangan teknologi dan derasnya gelombang budaya dari luar yang masuk ke Nusantara ini.

Indonesia merupakan negara paling banyak memiliki kesenian tradisional. Mulai dari Sabang hingga Merauke, setiap daerah memiliki kesenian tradisional yang berbeda-beda.Sintren sebagai satu kekayaan budaya dan kearifan lokal ini tidak menutup kemungkinan akan punah dari perbendaharaan budaya bangsa.

Sintren ada,karena adanya masyarakat agraris. Masyarakat petani kerap menggunakan kesenian yang sarat mistis itu untuk mengundang hujan dan mencegah bencana terhadap hasil pertanian mereka, semisal, mengusir hama dan sebagainya.

Menurutnya, dengan adanya festival budaya di Kabupaten Tegal, diharapkan dapat ikut melestarikan kesenian yang diperankan gadis yang suci atau masih perawan itu.

"Meskipun saat ini, Sintren sudah jauh dari orisinal lagi, minimal ada upaya pelestarian. Yakni dengan cara pertunukan Sintren sebagai kebutuhan hiburan, bukan lagi sebagai ritual.

Kesenian tradisional Sintren merupakan tarian mistis. Karena di dalam ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh.

Sehingga penarinya yang disebut Sintren (untuk penari perempuan) dan Lais (untuk penari laki- laki), tidak sadar saat menari.

Penari dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain. Pawang atau dalang kemudian membakar kemenyan dan merapalkan mantra memanggil ruh.

Jika pemanggilan roh berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.

Pawang atau dalang juga menjalani sejumlah ritual sebelum memulai pertunjukan Sintren. Mereka harus berpuasa patigeni, tidak makan dan minum serta tidak keluar rumah selama beberapa hari sebelum tampil.

Salah satu kesenian tradisional yang makin dilupakan salah satunya adalah kesenian sintren. Sintren merupakan kesenian tradisional yang berasal dari pesisir utara pantai Jawa Barat dan Jawa Tengah. Daerah persebaran kesenian ini di antaranya di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Tegal, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan.

Keberadaan kesenian sintren hampir punah karena tidak ada warga yang menanggap. Jika tidak ada upaya melestarikan, menurut Erwindho, kesenian sintren sebagai salah satu kekayaan budaya dan kearifan lokal ini tidak menutup kemungkinan akan punah dari perbendaharaan budaya bangsa.

Seperti diberitakan Radar Tegal (Jawa Pos Group), salah satu usaha untuk melestarikan kesenian sintren adalah dengan sering digelarnya pertunjukan sintren. Utamanya saat acara sedekah bumi maupun acara pesta di suatu daerah, akan menarik jika menampilkan kesenian sintren.

Karenanya dia sangat mendukung jika di tiap-tiap kecamatan atau kelurahan, perlu digelar kesenian rakyat, tak terkecuali kesenian sintren. Minimal pertunjukan rakyat digelar setiap dua bulan, sehingga warganya saling silaturahmi. Saling tegur sapa.

Kalau setiap kecamatan atau kelurahan, nantinya ada agenda pertunjukan kesenian rakyat semisal itu pertunjukan wayang kulit atau golek. Atau pertunjukan kesenian, sehingga iklim kesenian di Kota Tegal dan sekitarnya semakin dinamis.

Dalam sejarahnya yang namanya seni tradisional, selain melekat fungsi hiburan juga sebagai sarana kegiatan upacara bersama. Lebih jauh, kesenian juga dapat menumbuhkan semangat nasionalisme. Kesenian sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, keberadaannya harus tetap dilestarikan.
Sintren dikenal juga dengan nama lain yaitu lais. Kesenian tradisional sintren ini sebenarnya merupakan tarian mistis, karena di dalam ritualnya mulai dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil roh atau dewa. Agar kesenian ini semakin memiliki sensasi seni yang kuat dan unik.

Asal mula munculnya kesenian ini tidak terlepas dari sebuah cerita yang melatar belakangi kesenian ini. Kesenian sintren tidak bisa dilepaskan dengan kisah antara Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.
Percintaan antara Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai.
Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan, sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa, berbagai pertunjukan rakyat digelar, maka pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan. R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya.
Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “trance” dan saat itu pulalah R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan.
Saat Sulasih trance atau kemasukan roh halus atau kesurupan yang disebut ‘Sintren’ dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai ‘balangan’. Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar sesuatu ke arah penari sintren.

Saat tembang dayung mulia dinyanyikan, sang sintren melakukan akrobat, naik keatas kurungan, gerakan tangan, pinggul dan sampur semakin lentur dan indah. Namun, penonton tidak bisa melihat mata penari sintren karena dilapisi kacamata hitam, tidak seperti tarian pada umumnya. konon, menurut cerita, kacamata sengaja untuk menutupi mata sintren yang terpenjam. Tak heran unsur mistis kenal di kesenian tari tradisional masyarakat di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Tengah, antara lain di Indramayu, Cirebon, Majalengka, Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, dan Pekalongan ini.


Kesenian Tari Sintren dikenal juga dengan nama lais. Bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Raden Sulandono yang merupakan anak Raden Bahureks, penguasa wilayah Kalisabak. Sementara itu, Sulasih gadis cantik berbudi itu menjadi kembang desa kebanggan para pemuda di sebuah dusun yang menjadi wilayah Kalisabak.


Namun rupaya, Raden Bahureksa menghalangi cinta putranya, Tetapi mereka tetap menjalin kasih sampai suatu saat Raden Bahureksa meninggal. kasih cinta mereka tetap tidak berjalan mulus. Banyak pemuda yang terpikat pada kecantikan Sulasih dan berniat memisahkannya mereka dengan menyembunyikannya Sulasih.


Untuk bertemu dengan Sulasih, Raden Sulandono harus datang pada malam bulan purnama saat upacara bersih desa dimulai. Di sana Sulasih menari di acara bersih desa, tetapi sesungguhnya tubuh Sulasih dimasuki roh bidadari melalui perantara Roro Rantamsari,Ibu Raden Sulandono yang sudah meninggal .
Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itulah pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskannya dengan mengusap wajah penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari sintren itu dapat melanjutkan menari lagi.
Kemudian, penonton yang melemparkan uang tersebut diperbolehkan untuk menari dengan sintren dan itulah pelaksanaan dari pertunjukan kesenian sintren. Kesenian sintren pada awal perkembang dipentaskan bersamaan datangnya musim panen maupun acara sedekah bumi di suatu desa.

0 Komentar