SINTREN BERPOLAKAN TRADISI DAN MODERNISASI



Antara tradisi dan modernitas Sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas, yang tidak tersaring secara ketat menyebabkan proses akulturasi budaya berjalan lancar. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, cafĂ©, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional. Modernitas dalam bentuk teknologi hiburan, besar pengaruhnya terhadap kesenian tradisional. 

Kesenian tradisional membutuhkan proses yang lama dalam memahami dan menampilkan, berbeda dengan teknologi hiburan modern yang bersifat instant. Di sinilah akan terjadi cultural lag dalam kebudayaan berkaitan dengan keberadaan kesenian tradisional. Menurut Koentjaraningrat, bahwa cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut. 

Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas dapat diterapkan sebagai kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya. Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk yang ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara terkena imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren. Para pekerja seni Sintren sebagai aset sumber daya manusia harus berjuang melawan modernitas, sebagai kaum minoritas yang menyampaikan nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya, mereka telah ikut andil dengan caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan, baik fisik maupun non fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren tersebut. Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari desa setempat saja. Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang menghendaki supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu. 

Dalam perspektif lain sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi alternatif bagi pelaku seni sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam pertunjukan kesenian tersebut, untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah himpitan modernitas dan globalisasi yang secara masif menghimpit rakyat kecil, pementasan sintren menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat secara ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan, seorang gadis penari sintren ternyata sedikit banyak mampu mendongkrak susana sepi menjadi keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di mana sebagian penduduk dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha dagang seperti; krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lainlain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan keliling sintren dari satu desa ke desa lain. 

Keberdayaan kesenian tari Sintren Opini masyarakat Pemalang terhadap kesenian Sintren sedikitnya ada tiga kategori yang mewakili berbagai aliran opini yang berkembang di masyarakat. Pertama, kelompok masyarakat yang secara tegas (tanpa kompromi) menolak eksistensi kesenian Sintren karena berasumsi bahwa kesenian Sintren tidak sejalan dengan nalar keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua, kelompok yang mengakui eksistensi kesenian Sintren dan berusaha melestarikannya. Kelompok ini terwakili oleh para seniman dan pemerhati seni etnik. Ketiga, kelompok yang masa bodoh dan tidak ambil pusing tentang Sintren dan masa depannya nanti. Faktor yang membuat kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri yang sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Selain itu juga tidak adanya wadah (sanggar) tempat bertemu sesama anggota dan para pemerhati seni tradisional. Lemahnya manajemen grup Sintren, ditengarai juga ikut memengaruhi citra kesenian Sintren. Dahulu, kesenian Sintren hanya dikelola secara musiman dan baru bergerak jika ada undangan pentas ataupun festival namun kini pertunjukan Sintren dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dalam pandangan masyarakat pelaku seni tradisional. menghidupkan kesenian Sintren seakan tidak lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau hanya sekedar ingin mempertahankan nilainilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu dusun Sirau Kelurahan Paduraksa. Jadi, mempertahankan nilai-nilai seni budaya itulah agaknya yang dijadikan pertimbangan. Memutuskan menjadi penari Sintren barangkali merupakan sebuah keberanian dan secara moral patut dihargai sebagai bentuk ketulusan menjaga nilai-nilai kesucian. Dalam prosesi pementasan Sintren ada semacam persyaratan khusus, si penari harus benar-benar masih perawan (suci) lahir batin, dalam arti secara fisik masih gadis (perawan) dan secara psikologis belum terhegemoni oleh pengaruh modernitas (masih lugu). Karena itu umumnya penari sintren berasal dari kalangan gadis cilik usia sekolah setingkat kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar. Syarat lainnya hanya berkaitan dengan teknis, tentunya harus bisa menari. Kini Sintren di Pemalang sebagai sebuah tradisi disebabkan tekanan modernitas hampir menjadi sepenggal kenangan sejarah. Meski masih ada pihak yang berusaha melestarikannya, terbukti di salah satu desa masih terdapat group Sintren yang tampil secara keliling. Sebagaimana paguyuban seni Sintren Slamet Rahayu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa Kecamatan Pemalang 

Dari uraian tentang bagaimana pertunjukan Sintren di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa makna yang terdapat di balik pertunjukan Sintren, antara lain: pertama, makna mistis yang memiliki hubungan dengan perolehan secara magis simpatetik. Ini tercermin lewat lagu-lagu yang dilantunkan dengan monoton tapi sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu, sehingga pemain Sintren dari kondisi terikat kuat dapat lepas dan berpakaian dalam hitungan menit. Kedua, makna teatrikal. 

Makna teatrikal ini digambarkan dengan tampilnya pawang dengan pemain Sintren dan kurungan secara simultan. Lalu Sintren berganti rupa dalam penampilannya sejak diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan dan keluar lagi serta masuk lagi dalam kurungan. Pertunjukan semacam itu merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapa pun yang melihatnya. Ketiga, makna simbolik. Makna simbolik ini ditunjukan bahwa pertunjukan Sintren dahulu hampir slalu ditampilkan pada saat selesai panen. Ini menunjukan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dimiliki oleh para petani yang ingin berbagi kebahagiaan dan kebersamaan dengan warga sekitarnya, oleh karena itu dalam pertunjukan Sintren juga dihidangkan berbagai macam makanan. Dalam masa kinipun, seni sintren menunjukan pesan egalitarian dan hubungan antara pencipta dengan yang dicipta. 

Pesan egalitarian, karena untuk pertunjukkannya, segenap warga yang ditempati pertunjukan sintren melakukan gotong royong mengumpulkan uang untuk menjamu dan sekedar memberi transport anggota paguyuban sintren. Hubungan pencipta dan yang dicipta, karena dalam pertunjukan sintren terdapat lagu-lagu yang berisi permohonan kepada Sang Pencipta, kini bahkan dinyanyikan shalawat nabi. Meski tekanan modernitas begitu kuat, tetapi sebagai seni tradisional keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau adanya keinginan kuat mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satunya adalah anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa. Pertunjukan Sintren juga bisa menjadi alternatif membangkitkan ekonomi mikro rakyat kecil dalam mencari pengahasilan tambahan ekonomi rumah tangga atas desakan kebutuhan ekonomi dan sebagai upaya mencoba bertahan hidup sambil nguri-uri budaya sendiri. 

0 Komentar