Kurungan
berukuran besar yang menyerupai kurungan ayam berbungkus kain, menjadi objek
paling mencolok dalam pertunjukan kesenian tradisional Cirebon, Lais.
Ditempatkan di tengah arena pertunjukan, 'kurungan ayam' itu dikelilingi 2-3
penari dan dilatari para pemain gamelan. Di antara para penari itu, salah
satunya seorang laki-laki berpakaian seadanya diikat dengan tali.
Seorang
pawang dengan dupa terbakar dan jampi-jampinya membuat pemuda itu lunglai tak
sadarkan diri. Laki-laki itulah 'sang' Lais, figur utama dari keseluruhan
pertunjukan. Sebagian rekannya lalu membungkus Lais atau akrab disebut pula
Dalang Lais, dalam tikar anyaman, sebelum kemudian sosoknya menghilang dalam
tikar. Dua penari mengelilingi kurungan ayam seraya menaburkan potongan bunga.
Tak lama, voila! Kala kurungan dibuka, tampaklah perubahan penampilan Lais.
Kali ini, kedua matanya dilapisi kaca mata hitam dan ikat kepala tradisional
tersemat menutup kepalanya. Sebuah selendang panjang terikat di pinggang Lais
yang kini berpakaian layaknya penari. Tubuhnya masih tetap lunglai. Sebagian
penari dan pendamping membantunya berdiri tegak. Beberapa detik kemudian,
tubuhnya mulai bergerak gemulai. Lais menari diiringi lagu berlirik seperti
ini: "Turun turun lais Laise widadari Nemu kembang yun ayunan Nemu kembang
yun ayunan Kembange Siti Maindra Widadari temurunan" Dalang Lais bergerak
mengelilingi penonton yang berkerumun. Tarian si penari akan terhenti setiap
kali salah satu penonton melempar uang mengenai bagian tubuhnya. Bukan hanya
saja tariannya berhenti, Lais justru pingsan setiap terkena lemparan uang
berapapun nilainya. "Uang itu mewakili godaan duniawi, di antaranya harta,
tahta, dan wanita, yang akan membelenggu manusia. Ketika godaan itu mengenai
kita, kita akan berada dalam kegelapan sehingga kita harus berupaya melepaskan
diri dari belenggu," papar seniman Cirebon, Waryo Sela kepada
ayocirebon.com
Proses 'menidurkan' Lais dengan cara
melemparinya uang maupun membangunkannya kembali untuk menari, menjadi daya
tarik Lais. Kesenian ini tak ubahnya dengan Sintren. "Bedanya, Lais
dimainkan penari laki-laki, sedangkan Sintren dimainkan penari perempuan.
Sisanya sih sama saja," ungkap Waryo. Baik Lais dan Sintren sama-sama menghadirkan
penari berkacamata hitam yang akan menari, konon, selama hilang kesadarannya.
Saat kehilangan kesadaran itulah, setiap gerakan dalang lais maupun sintren
diyakini dikuasai roh. Percaya atau tidak, keterlibatan roh inilah yang menjadi
daya tarik kesenian khas Cirebon yang satu ini. Nuansa mistis yang melingkupi
Lais maupun Sintren masih kerap mengundang keingintahuan dan antusiasme
khalayak. "Kesenian Lais dan Sintren diyakini berkembang di tengah
masyarakat pesisir pantai utara Jawa. Ini adalah permainan rakyat yang semula
bertujuan mendatangkan roh, mirip-mirip Jaelangkung," tutur Waryo.
Lais
ataupun Sintren dimainkan di area terbuka. Dengan penonton yang melingkar,
umumnya terjadi kontak langsung antara pemain dan penari (dalang lais atau
sintren). Mengingat populer di kalangan rakyat, sejatinya Lais ataupun Sintren
dimainkan dengan alat musik sederhana, seperti bumbung, buyung, maupun kecrek.
Kini, format penyajian kesenian tersebut dimodifikasi dengan alat-alat musik
lain, semisal tambahan perkusi tertentu hingga permainan gamelan. Sayangnya,
Lais maupun Sintren menjadi salah satu kesenian khas Cirebon yang terkategori
nyaris punah. Meski begitu, nasib Sintren tak seburuk Lais. Pamor Sintren masih
berada di atas Lais.
(2)
"Lais dan Sintren tergolong kesenian yang sudah langka. Tapi, dalam
perkembangannya Lais lebih jarang ditampilkan daripada Sintren," katanya.
Dia tak menampik kemungkinan adanya isu gender dalam perkembangan kesenian ini.
Kebanyakan orang lebih menanti-nanti sintren ketimbang lais, terlepas nuansa
mistis yang ditampilkan dalam pertunjukannya. Unsur magis dalam kesenian Lais,
tak hanya menarik minat para penonton. Unsur itu rupanya memiliki daya tarik
bagi si penari atau dalang lais, Ade Irfan (23), warga Cikeduk, Kecamatan
Depok, Kabupaten Cirebon. "Saya tertarik jadi dalang lais karena ada unsur
magisnya," ujar Ade ditemui seusai pertunjukan di Bale Gamelan, Kelurahan
Panjunan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon, belum lama ini. Aksi Ade
bersama rombongan sanggarnya, Cipta Bagus Winangun asal Kabupaten Cirebon,
mengundang decak kagum para penonton hari itu. Ade nyaris tak menemukan kata
yang tepat untuk menggambarkan perasaannya ketika kontrol atas tubuhnya
diambilalih 'kekuatan lain'.
Dia
mengakui, tali yang mengikatnya di awal pertunjukan terasa kencang dan
membatasi geraknya. "Setelah dibacakan jampi-jampi, saya tidak sadar,
seperti orang pingsan saja. Tahu-tahu pas sadar, badan sudah sakit-sakit,"
ungkapnya. Dia meyakinkan, tidak mengetahui pasti bagaimana penampilannya berubah
dengan kacamata hitam dan konstum penari, selama dirinya berada dalam kurungan
ayam. Pun begitu rasanya ketika uang dilempar ke arah tubuhnya. Meski merasakan
linu sekujur tubuh pasca kesadarannya kembali, Ade menegaskan dirinya tak kapok
berperan sebagai dalang lais. Apalagi, dia telah melakoni perannya itu sejak
sekitar 5-7 tahun terakhir. "Ini (keahliannya menari sebagai dalang lais)
turunan dari guru saya. Saya nggak akan kapok karena saya punya tujuan
melestarikan tradisi," tegasnya. Ade menghendaki kesenian Cirebon tak
lekang disantap masa. Dia mengetahui, resiko atas kehendaknya itu adalah
konsistensi dan komitmen. "Kesenian itu indah, saya harus berjuang
melestarikannya supaya bisa dipelajari generasi muda nanti. Sekarang kan
anak-anak lebih suka main gadget, sehingga bukan saja kurang paham kesenian,
tubuh mereka juga kurang gerak. Jangan sampai kesenian khas seperti lais ini
punah," tandasnya.
Kesenian
tradisional Sintren kian dilupakan seiring perkembangan teknologi dan derasnya
gelombang budaya dari luar yang masuk ke Nusantara ini.
Budayawan
asal Tegal, Teguh Puji Harsono, menuturkan kesenian Sintren berlahan
ditinggalkan masyarakat.
"Saya
katakan, hampir punah. Karena tidak ada upaya untuk melestarikannya. Yang
melestarikan siapa? ya seharusnya masyarakat itu sendiri," kata Teguh,
saat ditemui di acara Luwijawa Culture Festival di Luwijawa, Kecamatan
Jatinegara, Kabupaten Tegal, Rabu (29/11/2017).
Sintren
sebagai satu kekayaan budaya dan kearifan lokal ini tidak menutup kemungkinan
akan punah dari perbendaharaan budaya bangsa. Sintren ada, kata dia, karena
adanya masyarakat agraris. Masyarakat petani kerap menggunakan kesenian yang
sarat mistis itu untuk mengundang hujan dan mencegah bencana terhadap hasil
pertanian mereka, semisal, mengusir hama dan sebagainya.
Menurutnya,
dengan adanya festival budaya di Kabupaten Tegal, diharapkan dapat ikut
melestarikan kesenian yang diperankan gadis yang suci atau masih perawan itu.
"Meskipun
saat ini, Sintren sudah jauh dari orisinal lagi, minimal ada upaya pelestarian.
Yakni dengan cara pertunukan Sintren sebagai kebutuhan hiburan, bukan lagi
sebagai ritual," ucapnya.
Kesenian
tradisional Sintren merupakan tarian mistis. Karena di dalam ritualnya mulai
dari permulaan hingga akhir pertunjukan banyak ritual magis untuk memanggil
roh.
Sehingga
penarinya yang disebut Sintren (untuk penari perempuan) dan Lais (untuk penari
laki- laki), tidak sadar saat menari.
Penari
dengan tangan terikat dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang berselebung kain.
Pawang atau dalang kemudian membakar kemenyan dan merapalkan mantra memanggil
ruh.
Jika
pemanggilan roh berhasil, maka ketika kurungan dibuka, sang gadis tersebut
sudah terlepas dari ikatan dan berdandan cantik, lalu menari diiringi gending.
Pawang
atau dalang juga menjalani sejumlah ritual sebelum memulai pertunjukan Sintren.
Mereka harus berpuasa patigeni, tidak makan dan minum serta tidak keluar rumah
selama beberapa hari sebelum tampil.
"Tidak
hanya kami (dalang atau pawang) tapi juga penarinya. Mereka puasa mutih (hanya
makan nasi dan minum air putih) selama beberapa hari sebelum tampil," kata
pawang asal Desa Luwijawa, Katri (70).
Menurutnya,
jika tidak mengambil ritual tersebut, khawatir, pertunjukan Sintren atau Lais
tidak berjalan lancar.
Ia
menceritakan, dalam beberapa penampilan, ada sejumlah temannya yang sesama
pawang tidak berhasil.
"Ada
yang gagal. Jadi, setelah kurungannya dibuka, Sintren tidak mau menari. Dia
meringkuk saja," imbuhnya.
Sementara,
Kepala Desa Luwijawa, Sugiyanto, mengatakan pihaknya siap jika desanya itu
menjadi pusat kesenian Sintren.
Pasalnya,
anak- anak di desa tersebut kerap memainkan Sintren dalam versi kecil atau yang
disebut Sintren- Sintrenan.
"Mereka
kerap main sendiri gitu, nyanyi- nyanyi lagu- lagu pengiring tarian Sintren.
Mereka sudah terbiasa," ucapnya
Sumber
:
0 Komentar